Jumat, 13 Mei 2011

Goethe, Islam dan Penciptaan Uang

         Oleh Emil W. Aulia


NAMA Johann Wolfgang von Goethe tentu sudah tidak asing bagi peminat sastra. Lahir di Frankfurt, Jerman, 28 Agustus 1749, Goethe dikenal sebagai pujangga terbesar di antara yang besar dalam sejarah kesusastraan Eropa. Filsuf Friedrich Nietzche memuji pendahulunya  itu dengan mengatakan, “Goethe bukan saja tokoh besar melainkan dia adalah sebuah kebudayaan”. Jerman moderen menabalkan nama Goethe sebagai ikon budaya melalui lembaga “Goethe Institute” yang berdiri di berbagai negara. 

 Selain sastrawan, Goethe juga dikenal sebagai filosof, arsitek, ahli hukum dan politisi. Namun, agaknya tidak banyak yang tahu kalau Goethe akrab dengan ajaran Islam.  Nurman Kholis, peneliti dari Litbang Departemen Agama RI menelusuri kedekatan Goethe dengan ajaran Islam lewat karya-karyanya semasa hidup, seperti puisi, lakon drama hingga surat yang pernah dikirimkannya ke  berbagai pihak. Dari hasil penelitian itu, Nurman berkesimpulan, Goethe meyakini keesaan Allah (tauhid), mengagumi sosok Nabi Muhammad SAW serta memercayai kebenaran al-Quran.

Goethe menulis sejumlah syair tentang Rasulullah. Simak syair  berjudul Mohamets Gesang (Dendang Nabi Muhammad) yang ditulisnya. “Juga kalian mari, mari/ Dan kini lebih ajaib dia membesar-meluas/ Seluruh ras menyanjung pangeran ini”.  


 Pada syair lainnya, Goethe menulis, “Dia seorang Rasul dan bukan penyair, dan oleh karenanya al-Quran ini hukum Tuhan. Bukan  buku karya manusia yang dibuat sekadar bahan pendidikan atau hiburan”. Pada puisi lainnya, Goethe meyakini kebenaran al-Quran, “Apakah Al-Quran  itu abadi?/ Saya tidak meragukannya/ Inilah buku dari buku-buku/ Saya meyakini kitab muslim itu”.

Keterpesonaan Goethe pada Rasulullah dan Islam bisa terus diperpanjang. “Dan kebenaran itu pasti bersinar/ Apa yang diakui oleh Muhammad/ Hanya dengan pengertian satu Tuhan/ Dia menguasai segalanya di dunia ini”.

Tak hanya terpesona pada Islam, pada syair lainnya, Goethe terang menyatakan Islam sebagai pilihan  hidupnya dan dirinya adalah seorang muslim: “Sungguh bodoh dalam setiap hal/ Orang memuji pendapatnya sendiri/  Apabila Islam berarti berserah diri kepada Tuhan/ Dalam Islam-lah kita hidup dan mati”.  Februari 1816, Goethe menulis sepotong syair yang berbunyi, “Puisi ini tidak menolak kebenaran bahwa diri ini adalah seorang Muslim”.

Sebelum  Nurman, jejak keislaman Goethe juga bergaung di Eropa. Syeikh Abdalqadir al-Murabit, ulama asal Skotlandia yang mempelopori kebangkitan Islam di Eropa moderen menyatakan, Goethe adalah seorang muslim. Hal itu terangkum dalam bukunya, Fatwa on the Acceptance of Goethe as Being a Muslim  terbit di Weimar, Jerman (1995). Namun, semasa hidupnya, Goethe tidak mendapat  pengajaran khusus tentang shalat, puasa, zakat atau berhaji. Kendati demikian, Goethe, sebut Syeikh  Abdalqadir,   bangga dan penuh emosi menghadiri shalat Jumat.

Di lingkungan muslim Eropa pada masanya, Goethe  bahkan dipanggil dengan nama Muhammad Johann Wolfgang Goethe. Fatwa  Syeikh Abdalqadir ini juga dipublikasikan dalam tabloid berbahasa Jerman,  Islamische Zeitung Nr. 5/1995 dengan judul “Fatwa uber die Anerkennung Goethes als Muslim”

Kedekatan Goethe dengan Islam merupakan hasil pengembaraan panjang. Saat belajar ilmu hukum di Universitas Leipzig, Goethe yang gemar membaca, terpesona pada syair-syair sufistik karya para sufi agung: Rumi, Hafiz, Ferdusi, Dschami, Saadi, dan Attar. Goethe juga membaca kitab fikih, kumpulan doa, hingga sejarah Rasulullah. Itu semua  menjadi pintu masuknya mengenal Islam.

Selain itu, Goethe juga membaca al-Quran terjemahan JV Hammer dalam bahasa Jerman dan karya G. Sale dalam bahasa Inggris. Hasil pembacaan itu kelak membuat Goethe mempelajari cara menulis dan membaca aksara Arab. Setelah kematiannya, 22 Maret  1832, Goethe diketahui menyalin sejumlah ayat al-Quran dengan tulisan tangannya sendiri. Dokumentasinya  bisa dilihat dalam buku Sebastian Donat (1999) berjudul Goethe,  ein letztes Universalgenia? (Goethe, Seorang Serba Bisa yang Terakhir?)

Penciptaan uang

Goethe punya banyak talenta. Selain sastra, dia mendalami arsitektur, hukum, kimia, filsafat, geologi, matematika, meteorologi dan militer.  Namun, agaknya jarang diketahui soal ketertarikan Goethe pada urusan moneter, khususnya soal penciptaan uang. Penelitian Nurman, lakon Faust yang ditulis Goethe, merupakan kritik Goethe terhadap kebijakan penerbitan uang kertas (fiat money) di Eropa. Masa Faust digarap, Eropa berada pada transisi penggunaan uang berbahan baku emas menuju uang berbahan baku kertas.

Mengutip riset Sebastian Donat, Goethe menyatakan, penciptaan uang kertas menggantikan uang emas merupakan hasil rekayasa setan. Dalam Faust diceritakan, Raja kehabisan uang emas setelah mendanai perang lalu meminta bantuan memperoleh dana segar dari dokter Faust yang bersekutu dengan iblis bernama Mephistopheles. Kepada Raja,  Mephistopheles menawarkan solusi mencetak uang dari kertas saja. Uang jenis itu gampang dibuat dibandingkan uang emas yang harus ditambang lebih dulu. Praktek penciptaan uang kertas tanpa basis emas dan perak inilah yang ditentang Goethe.

Pandangan Goethe ini juga sejalan dengan Islam. Penggunaan mata uang emas dan perak merupakan sunnah. Selama 14 abad, sejak era Rasulullah hingga Kekhalifahan Usmani (1924), umat muslim menggunakan dinar  emas dan dan dirham perak. Keduanya digunakan sebagai alat tukar (jual-beli), pembayar zakat, sedekah, mahar dan tabungan.

Uang kertas, terbuat dari kertas, sejatinya tak bernilai. Uang kertas dianggap berharga karena diberi cetakan angka di atas lembarannya oleh otoritas politik. Bandingkan dengan emas/perak yang bernilai ril disebabkan kandungannya.  Iris-irislah sekeping koin emas maka setiap serpihannya tetap berharga. Namun,  robeklah selembar uang kertas maka seketika ia tidak akan berguna.

Lebih 200 tahun berlalu, pemikiran Goethe tentang pentingnya penggunaan uang emas dan perak, relevan dengan masa kini. Tengok, krisis ekonomi yang melanda berbagai negara di dunia abad ini merupakan dampak penggunaan uang kertas. Banyak negara hancur perekonomiannya karena anjloknya nilai tukar, inflasi, resesi hingga perang kurs.

Pandangan Goethe tentang penciptaan uang, kiranya menjadi renungan bagi umat Islam untuk kembali mengunakan dinar emas dan dirham perak. Alhamdulillah,  kini keduanya telah kembali dicetak dan beredar di dunia, termasuk Indonesia. Disebabkan terbuat dari emas dan perak, dinar/dirham memiliki banyak kelebihan dibandingkan uang kertas. Sifat emas dan perak yang universal, tahan inflasi, memungkinkannya menembus sekat budaya, sosial, lintas negara, bahkan bisa diterima penganut agama manapun.

Penggunaan dinar emas dan dirham perak akan menciptakan keadilan moneter. Perdagangan yang adil antar manusia, antar negara, bisa ditegakkan. Imam al-Gazali dalam Ihya Ulumuddin menyatakan, “Allah menciptakan emas dan perak agar keduanya menjadi hakim yang adil dalam perniagaan.” 

Keadilan ekonomi sulit ditegakkan jika sistem uang kertas masih diterapkan. Tengoklah, ironi yang dialami Indonesia dan negara di dunia ketiga lainnya. Keringat rakyatnya, hasil hutan, tanah, minyak, isi laut, hasil bumi lainnya yang dikaruniakan Allah kepada mereka ditukar bangsa lain hanya dengan kertas-kertas cetakan --yang disebut uang-- yang sejatinya tak berharga. ***

(Artikel ini sudah dimuat di Harian Waspada, Minggu, 2 Januari 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar