Minggu, 15 Mei 2011

Mahar 24 Dinar Emas di Medan

Penggunaan dinar emas sebagai mahar pernikahan kian bertambah lagi di Medan. Pasangan dosen Universitas Sumatera Utara Bpk M. Andri Budiman, S.T dan Dr. Gema Nazriyani menikah dengan mahar sebanyak 24 koin dinar emas.

Mesjid Aceh Sepakat di Jalan Mengkara, kota Medan Sumatera Utara menjadi saksi tempat pernikahan Bapak M. Andri Budiman S.T.M.Compt.Sc,M.E.M  dengan Ibu Dr. Gema Nazriyani, M.Ked (Ped), SpA.  Suasana di acara pernikahan bernuansa adat  Melayu. Hari itu, Ahad, 20 Februari, mempelai pria  melaksanakan akad nikah dengan mahar sebanyak 24 dinar emas. Mahar berupa koin-koin itu disimpan rapi dalam sebuah kotak berbentuk hati.  Selain keluarga, hadir sebagai saksi pernikahan, Bpk Bupati Serdang Bedagai Ir. HT. Erry Nurdin, MSI.



Bpk M. Andri sehari-harinya  bekerja sebagai dosen di Fakultas Ilmu Komputer Universitas Sumatera Utara (USU), Medan. Beliau adalah putra dari Bpk Prof. Dr H. Budi Hadibroto, Guru Besar USU. Sementara, sang istri, Ibu Dr Gema  juga seorang akademisi. Putri keluarga Ir. H. OK Nazaruddin Hisyam itu sehari-harinya adalah dosen di Fakultas Kedokteran USU. Bpk M Andri sudah beberapa bulan ini mengenal keberadaan dinar emas dan memperolehnya dari  Wakala Baitul Dinar Medan. 

Penggunaan dinar emas sebagai mahar pernikahan merupakan sunnah Rasululullah Saw. Setelah akad nikah, dilanjutkan dengan resepsi pernikahan yang digelar di Balai Raya Aceh Sepakat, tak jauh dari mesjid tempat dilangsungkannya pernikahan.

Selamat menempuh hidup baru kepada Bpk Andri dan Ibu Gina. Semoga bahagia menjadi keluarga sakinah. ***




Celengan Keluarga Kini Berisi Dinar

Tidak mudah menjelaskan keberadaan dinar dan dirham. Termasuk kepada keluarga sendiri. Hal itulah yang dialami Pak Ilham Prasetya Gultom. Meski sudah cukup lama menggunakan dinar  dan dirham namun belum semua anggota keluarga advokat muda itu menyadari pentingnya keberadaan koin-koin tersebut. 

Tapi, kini Pak Gultom merasa bahagia tatkala sang istri akhirnya bersedia menukarkan uang kertas tabungan bersama mereka ke dalam bentuk dinar dan dirham. Sebagai ungkapan syukurnya, mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara itu  membawa langsung celengannya ke wakala dan menukarkan isinya ke koin dinar dan dirham.

Berikut kesaksian Pak Gultom tentang kisah celengan keluarganya yang kini mulai menyimpan dinar dan dirham;

Di rumah kami, ada celengan plastik. Di celengan itu saya dan istri menabung. Sesuai komitmen bersama, uang yang kami masukkan  ke dalam celengan itu hanya dalam bentuk lembaran uang Rp 20 ribu saja.  Siapapun dari saya dan istri yang pulang ke rumah membawa uang lembaran Rp 20 ribu maka wajib memasukkannya ke dalam celengan. Begitulah komitmen yang kami buat agar isi celengan plastik di rumah kami itu bisa terisi.

Setelah beberapa lama menabung, kami merasa jumlah uang yang ada dalam celengan itu sudah mulai banyak. Saya menyarankan kepada istri saya  untuk menukarkan isi celengan itu ke bentuk koin dinar emas dan dirham perak. Jika kelak sudah ditukar, koin dinar dan dirham itu selanjutnya dimasukkan ke dalam celengan itu sebagai tabungan bersama.

Istri saya awalnya tak langsung setuju dengan niat itu. Dengan sabar, saya menjelaskan kepadanya, menabung dalam dinar dan dirham lebih untung. Disebabkan terbuat dari bahan emas dan perak maka maka dinar dan dirham aman sebagai instrumen investasi dan tahan inflasi. Di atas semua itu, tentu saja, menggunakan dinar dan dirham adalah bagian dari menegakkan kembali sunnah Rasulullah yang terlupakan di masa moderen ini.

Setelah mendapatkan cukup penjelasan, akhirnya istri saya setuju untuk menukarkan isi celengan kami ke dalam bentuk dinar dan dirham.  Saya gembira atas keputusannya itu. Saking gembiranya, pada hari Jumat, 3 Maret 2011, saya datang ke Kantor Wakala Amal Madinah Medan.  Saya membawa celengan plastik dari rumah kami untuk langsung dibongkar di sana.

Hasilnya? Alhamdulillah,  hasil tabungan kami kala itu mencapai angka Rp 1,8 juta lebih. Hari itu juga, uang-uang kertas itu saya tukarkan ke dalam wujud dinar emas plus beberapa koin dirham perak. Koin-koin tersebut selanjutnya saya masukkan ke dalam celengan plastik kami.

Insya Allah, kami sekeluarga akan terus menabung dalam bentuk koin dinar dan dirham. Tabungan itu kami gunakan untuk simpanan kebutuhan pendidikan anak kami dan tabungan haji.  

Saya berharap, penggunaan dinar dan dirham kian meluas di Medan sehingga saya dan mereka yang sudah menyimpannya tak perlu menukarkannya lagi ke uang kertas saat dibutuhkan. Selain itu, kembalinya dinar dan dirham bisa diiringi pula dengan semakin bertumbuhnya para pedagang dan penyedia jasa yang mau menerima penggunaan dinar dan dirham sebagai alat tukar sukarela serta tegaknya kembali pembayaran zakat mal menggunakan dinar dan dirham.

Mudah-mudahan niat ini dimudahkan oleh Allah SWT. **

(Kesaksian ini sebagaimana dituturkan Pak Gultom kepada al-Wakil Wakala Amal Madinah Medan)




Jumat, 13 Mei 2011

Goethe, Islam dan Penciptaan Uang

         Oleh Emil W. Aulia


NAMA Johann Wolfgang von Goethe tentu sudah tidak asing bagi peminat sastra. Lahir di Frankfurt, Jerman, 28 Agustus 1749, Goethe dikenal sebagai pujangga terbesar di antara yang besar dalam sejarah kesusastraan Eropa. Filsuf Friedrich Nietzche memuji pendahulunya  itu dengan mengatakan, “Goethe bukan saja tokoh besar melainkan dia adalah sebuah kebudayaan”. Jerman moderen menabalkan nama Goethe sebagai ikon budaya melalui lembaga “Goethe Institute” yang berdiri di berbagai negara. 

 Selain sastrawan, Goethe juga dikenal sebagai filosof, arsitek, ahli hukum dan politisi. Namun, agaknya tidak banyak yang tahu kalau Goethe akrab dengan ajaran Islam.  Nurman Kholis, peneliti dari Litbang Departemen Agama RI menelusuri kedekatan Goethe dengan ajaran Islam lewat karya-karyanya semasa hidup, seperti puisi, lakon drama hingga surat yang pernah dikirimkannya ke  berbagai pihak. Dari hasil penelitian itu, Nurman berkesimpulan, Goethe meyakini keesaan Allah (tauhid), mengagumi sosok Nabi Muhammad SAW serta memercayai kebenaran al-Quran.

Goethe menulis sejumlah syair tentang Rasulullah. Simak syair  berjudul Mohamets Gesang (Dendang Nabi Muhammad) yang ditulisnya. “Juga kalian mari, mari/ Dan kini lebih ajaib dia membesar-meluas/ Seluruh ras menyanjung pangeran ini”.  


 Pada syair lainnya, Goethe menulis, “Dia seorang Rasul dan bukan penyair, dan oleh karenanya al-Quran ini hukum Tuhan. Bukan  buku karya manusia yang dibuat sekadar bahan pendidikan atau hiburan”. Pada puisi lainnya, Goethe meyakini kebenaran al-Quran, “Apakah Al-Quran  itu abadi?/ Saya tidak meragukannya/ Inilah buku dari buku-buku/ Saya meyakini kitab muslim itu”.

Keterpesonaan Goethe pada Rasulullah dan Islam bisa terus diperpanjang. “Dan kebenaran itu pasti bersinar/ Apa yang diakui oleh Muhammad/ Hanya dengan pengertian satu Tuhan/ Dia menguasai segalanya di dunia ini”.

Tak hanya terpesona pada Islam, pada syair lainnya, Goethe terang menyatakan Islam sebagai pilihan  hidupnya dan dirinya adalah seorang muslim: “Sungguh bodoh dalam setiap hal/ Orang memuji pendapatnya sendiri/  Apabila Islam berarti berserah diri kepada Tuhan/ Dalam Islam-lah kita hidup dan mati”.  Februari 1816, Goethe menulis sepotong syair yang berbunyi, “Puisi ini tidak menolak kebenaran bahwa diri ini adalah seorang Muslim”.

Sebelum  Nurman, jejak keislaman Goethe juga bergaung di Eropa. Syeikh Abdalqadir al-Murabit, ulama asal Skotlandia yang mempelopori kebangkitan Islam di Eropa moderen menyatakan, Goethe adalah seorang muslim. Hal itu terangkum dalam bukunya, Fatwa on the Acceptance of Goethe as Being a Muslim  terbit di Weimar, Jerman (1995). Namun, semasa hidupnya, Goethe tidak mendapat  pengajaran khusus tentang shalat, puasa, zakat atau berhaji. Kendati demikian, Goethe, sebut Syeikh  Abdalqadir,   bangga dan penuh emosi menghadiri shalat Jumat.

Di lingkungan muslim Eropa pada masanya, Goethe  bahkan dipanggil dengan nama Muhammad Johann Wolfgang Goethe. Fatwa  Syeikh Abdalqadir ini juga dipublikasikan dalam tabloid berbahasa Jerman,  Islamische Zeitung Nr. 5/1995 dengan judul “Fatwa uber die Anerkennung Goethes als Muslim”

Kedekatan Goethe dengan Islam merupakan hasil pengembaraan panjang. Saat belajar ilmu hukum di Universitas Leipzig, Goethe yang gemar membaca, terpesona pada syair-syair sufistik karya para sufi agung: Rumi, Hafiz, Ferdusi, Dschami, Saadi, dan Attar. Goethe juga membaca kitab fikih, kumpulan doa, hingga sejarah Rasulullah. Itu semua  menjadi pintu masuknya mengenal Islam.

Selain itu, Goethe juga membaca al-Quran terjemahan JV Hammer dalam bahasa Jerman dan karya G. Sale dalam bahasa Inggris. Hasil pembacaan itu kelak membuat Goethe mempelajari cara menulis dan membaca aksara Arab. Setelah kematiannya, 22 Maret  1832, Goethe diketahui menyalin sejumlah ayat al-Quran dengan tulisan tangannya sendiri. Dokumentasinya  bisa dilihat dalam buku Sebastian Donat (1999) berjudul Goethe,  ein letztes Universalgenia? (Goethe, Seorang Serba Bisa yang Terakhir?)

Penciptaan uang

Goethe punya banyak talenta. Selain sastra, dia mendalami arsitektur, hukum, kimia, filsafat, geologi, matematika, meteorologi dan militer.  Namun, agaknya jarang diketahui soal ketertarikan Goethe pada urusan moneter, khususnya soal penciptaan uang. Penelitian Nurman, lakon Faust yang ditulis Goethe, merupakan kritik Goethe terhadap kebijakan penerbitan uang kertas (fiat money) di Eropa. Masa Faust digarap, Eropa berada pada transisi penggunaan uang berbahan baku emas menuju uang berbahan baku kertas.

Mengutip riset Sebastian Donat, Goethe menyatakan, penciptaan uang kertas menggantikan uang emas merupakan hasil rekayasa setan. Dalam Faust diceritakan, Raja kehabisan uang emas setelah mendanai perang lalu meminta bantuan memperoleh dana segar dari dokter Faust yang bersekutu dengan iblis bernama Mephistopheles. Kepada Raja,  Mephistopheles menawarkan solusi mencetak uang dari kertas saja. Uang jenis itu gampang dibuat dibandingkan uang emas yang harus ditambang lebih dulu. Praktek penciptaan uang kertas tanpa basis emas dan perak inilah yang ditentang Goethe.

Pandangan Goethe ini juga sejalan dengan Islam. Penggunaan mata uang emas dan perak merupakan sunnah. Selama 14 abad, sejak era Rasulullah hingga Kekhalifahan Usmani (1924), umat muslim menggunakan dinar  emas dan dan dirham perak. Keduanya digunakan sebagai alat tukar (jual-beli), pembayar zakat, sedekah, mahar dan tabungan.

Uang kertas, terbuat dari kertas, sejatinya tak bernilai. Uang kertas dianggap berharga karena diberi cetakan angka di atas lembarannya oleh otoritas politik. Bandingkan dengan emas/perak yang bernilai ril disebabkan kandungannya.  Iris-irislah sekeping koin emas maka setiap serpihannya tetap berharga. Namun,  robeklah selembar uang kertas maka seketika ia tidak akan berguna.

Lebih 200 tahun berlalu, pemikiran Goethe tentang pentingnya penggunaan uang emas dan perak, relevan dengan masa kini. Tengok, krisis ekonomi yang melanda berbagai negara di dunia abad ini merupakan dampak penggunaan uang kertas. Banyak negara hancur perekonomiannya karena anjloknya nilai tukar, inflasi, resesi hingga perang kurs.

Pandangan Goethe tentang penciptaan uang, kiranya menjadi renungan bagi umat Islam untuk kembali mengunakan dinar emas dan dirham perak. Alhamdulillah,  kini keduanya telah kembali dicetak dan beredar di dunia, termasuk Indonesia. Disebabkan terbuat dari emas dan perak, dinar/dirham memiliki banyak kelebihan dibandingkan uang kertas. Sifat emas dan perak yang universal, tahan inflasi, memungkinkannya menembus sekat budaya, sosial, lintas negara, bahkan bisa diterima penganut agama manapun.

Penggunaan dinar emas dan dirham perak akan menciptakan keadilan moneter. Perdagangan yang adil antar manusia, antar negara, bisa ditegakkan. Imam al-Gazali dalam Ihya Ulumuddin menyatakan, “Allah menciptakan emas dan perak agar keduanya menjadi hakim yang adil dalam perniagaan.” 

Keadilan ekonomi sulit ditegakkan jika sistem uang kertas masih diterapkan. Tengoklah, ironi yang dialami Indonesia dan negara di dunia ketiga lainnya. Keringat rakyatnya, hasil hutan, tanah, minyak, isi laut, hasil bumi lainnya yang dikaruniakan Allah kepada mereka ditukar bangsa lain hanya dengan kertas-kertas cetakan --yang disebut uang-- yang sejatinya tak berharga. ***

(Artikel ini sudah dimuat di Harian Waspada, Minggu, 2 Januari 2011)

Membongkar Borok Demokrasi

Oleh : Emil W. Aulia

BANYAK pemuja demokrasi di Indonesia saat ini.  Demokrasi dipahami bukan sekedar alat namun juga tujuan mencapai kesejahteraan, kesetaraan  dan keadilan. Maka, sesiapa yang meragukan demokrasi atau menomorduakannya, dianggap bukan polah yang populer. Tindakan “merendahkan” demokrasi,  bisa menjadikan si pelakunya sebagai tertuduh:  dicap tirani, otoriter, kolot, momok modernitas, atau, minimal,  bagian dari Orde Baru.


 Jadilah demokrasi –sebagai alat maupun tujuan– menjadi pembicaraan dan praktik nomor satu di Indonesia saat ini. Demokrasi menjadi kosakata penting pada segenap ranah kehidupan kita. Saat Wapres Jusuf Kalla mengatakan “demokrasi itu nomor dua” ia segera dihujani kritik. Pandangan JK ini dianggap melemahkan gerakan demokrasi yang sedang bersemi di Tanah Air. Apalagi, pandangan tersebut berseberangan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sekondannya. Saat berpidato menerima penghargaan Medali Demokrasi dari sebuah organisasi internasional, SBY mengatakan, demokrasi telah menjadi bagian penting dan permanen dalam kehidupan bangsa Indonesia. Bahkan, lanjut SBY, Islam dan demokrasi di Indonesia bisa bergandengan tangan.

JK boleh jadi sedikit orang berani mengeritik keberadaan dan peran demokrasi. Namun, Zaim Saidi lebih lagi. Membaca judul buku terbaru karngan Direktur PIRAC ini, sudah terang sikap penulisnya. Alih-alih memuja demokrasi, buku yang diterbitkan Republika (September, 2007) ini justru membentang sisi gelap demokrasi.

Menurut Zaim, demokrasi adalah usaha memperbudak umat manusia demi penegakan negara budak (slave state). Sebuah pernyataan yang jelas melawan mainstream. Penguasa yang dipilih melalui sistem demokrasi, lanjut Zaim, cuma boneka. Mereka hanya menjalankan keputusan dan kepentingan kelompok elit kapitalis, yaitu oligarki bankir internasional yang menguasai ekonomi dunia saat ini. Di mata Zaim, demokrasi tak lebih dari produk kapitalisme yang menindas.

Kapitalisme yang dimaksud Zaim adalah bangunan sistem ekonomi moderen yang berdiri di atas fondasi riba. Riba adalah hal terlarang dalam Islam.  Pada negara moderen, lanjut Zaim, riba justru direduksi dalam konstitusi negara moderen melalui tampilnya perbankan (bankir) sebagai pemonopoli pencetakan uang kertas (fiat money), mengucurkan kredit (utang) lalu memungut bunga. Tali-temali ketiganya disebut Zaim dengan konstruksi negara fiskal.

Dalam kontruksi negara fiskal, bank memberikan uang –dalam bentuk cetakan atau melalui ketikan di byte komputer– kepada pemerintah untuk mendanai pelbagai hal yang disebut proyek pembangunan. Dari sini kemudian muncul  istilah ’utang negara’ (public debt) hingga setiap warga negara kemudian dikenakan tanggungjawab membayar utang tersebut.  Bentuknya, melalui pemajakan. Zaim melihat ada persoalan mendasar di tingkat ini, yakni rakyat telah dijaminkan dalam kontrak utang-piutang yang dilakukan para pengelola negara kepada perbankan. Dalam kontruksi negara fiskal, simpul Zaim, fungsi konstitusi pada negara moderen hanya memastikan setiap orang menjadi pembayar pajak.

Sebab itu, pada level tersebut, penguasa sesungguhnya adalah para bankir. Pemerintahan yang dipilih –siapapun mereka— sejatinya adalah pihak yang berutang kepada perbankan. Jadilah kemudian mereka hanya pemerintahan boneka  yang menjalankan kepentingan elit perbankan. Bisa dimaklumi, saat terbetik berita di media massa perihal Bank Sentral mengeluarkan keputusan atas tingkat suku bunga di sebuah negara maka keputusan itu selalu memberi dampak luas pada kebijakan nasional negara tersebut. Ini bukti, demokrasi itu hanya ilusi. Demokrasi menjelma menjadi sistem politik tanpa kekuasaan.

Di sisi lain, demokrasi sebagai sebuah metode memperlihatkan kelemahannya saat suara rakyat terbanyak menjadi dasar utama terbitnya sebuah keputusan hukum. Zaim mencontohkan, seandainya kehendak kolektif publik mengatakan bahwa ‘riba itu halal’ maka penguasa mengikutinya dan memutuskan bahwa ‘riba itu halal’. Keputusan ini dianggap demokratis karena berdasarkan suara mayoritas. Namun, keputusan yang dianggap demokratis itu tidak serta merta menafikan ketetapan syariah bahwa ‘riba itu haram’.  Pada konteks ini, pandangan yang menyatakan bahwa demokrasi sejalan dengan Islam praktis terbantahkan. (hal. 12)
Lugas dan gamblang buku ini mengeritik demokrasi sehingga, lanjut Zaim, umat manusia sejatinya tidak memerlukannya. Sebagai gantinya, Zaim menawarkan Islam sebagai jalan keluar.  Islam, dalam buku ini  dijabarkan sebagai cara hidup (amalan) dengan menghidupkan kembali muamalat, restorasi zakat, pasar terbuka, lembaga wakaf, kontrak bisnis syirkat, penggunaan kembali mata uang dinar emas dan dirham perak serta karavan dagang.

Konsepsi ini sama sekali berbeda dengan pelbagai instrumen yang dikenal dalam negara moderen (baca: negara fiskal) seperti perbankan, partai politik, parlemen,  sistem uang kertas, utang berbunga dan pajak. Zaim juga mengkritisi segala bentuk dan usaha pengislaman  pelbagai produk modernitas yang marak terjadi dalam dunia Islam hari ini seperti perbankan Islam, asuransi Islam,  bursa saham Islam,  negara Islam, hingga demokrasi Islam. Menurutnya, apa yang disebut dengan modernisme Islam yang kini banyak disuarakan para pemikir Islam, justru memastikan Islam kian terjerumus ke dalam kapitalisme.

Buku ini merupakan hasil lawatan spiritual dan intelektual Zaim selama berada di Cape Town, Afrika Selatan sepanjang tahun 2005-2006. Secara spiritual, Zaim mengikuti denyut kehidupan komunitas umat Islam di sana yang sukses menjalankan syariat Islam menurut tatanan amal Madinah, yaitu merujuk perilaku penduduk Madinah yang hidup pada era tiga generasi pertama Islam. Mereka sukses menjalankan cara hidup Islami sebagai jalan keluar atas persoalan yang ditimbulkan modernitas. Secara intelektual, Zaim memperkuat dalil-dalil ilmiah-akademik dalam bukunya melalui riset di Dallas College, kampus setempat.
Melalui dua pendekatan itu, buku ini menjadi berbeda dengan kebanyakan buku para peneliti kontemporer Indonesia yang modernis, liberal dan sekuler. Bila dihadapkan dengan cara Zaim, cara berpikir mereka justru malah melestarikan kapitalisme, melanggengkan ilusi tentang demokrasi, dan   semakin mengokohkan kontruksi negara fiskal. ***

(Catatan dari Bedah Buku Ilusi Demokrasi, Istora Senayan, Jakarta, Ahad, 9 Maret 2008)

Dinar Selamatkan Bangsa

Oleh : Emil W. Aulia


KRISIS ekonomi yang melanda berbagai negara di dunia telah membuka mata sebagian intelektual muslim untuk mengkaji penerapan sistem keuangan Islam. Salah satu pemikiran yang mengemuka adalah penggunaan kembali koin dinar dan dirham. Keduanya dikenal sebagai mata uang yang dipakai umat Islam sejak masa Rasululah SAW hingga berakhirnya  Kekhalifahan Osmani di Turki (1924). Dinar adalah koin emas 22 karat seberat 4,25 gram sementara dirham, koin perak murni seberat 2,9 gram. Ide penggunaan dinar dan dirham itu tak hanya sebagai solusi keluar dari krisis namun sekaligus upaya menegakkan kembali sunnah yang runtuh.


 Buku  Perampok Bangsa-Bangsa, Kenapa Emas Harus Jadi Mata Uang Internasional  karya Ahamed Meedin Kameel Meera  ini mengurai implementasi penerapan dinar dan dirham dalam konteks kekinian. Sebelum diterbitkan Mizan untuk publik Indonesia, buku karya profesor di bidang keuangan Islam yang mengajar di Fakultas Ekonomi dan Manajemen International Islamic University Malaysia (IIUM) itu lebih dulu beredar di Malaysia dengan judul The Theft of Nations: Returning to Gold (2004).

Meera membagi bukunya dalam dua bagian. Bagian pertama berisi gambaran sistem keuangan moderen yang kini jamak diterapkan berbagai negara di dunia. Menurut Meera, bangunan sistem keuangan moderen itu berdiri di atas fondasi riba. Pilarnya ada tiga: penggunaan uang kertas (fiat money), pungutan bunga (interest)  dan kewajiban cadangan minimum bank sentral (fractional reserve requirement). Melalui tiga pilar ini, Meera mengurai berbagai potret kehancuran ekonomi yang terjadi di berbagai negara yang menerapkannya.

Meera mengecam penggunaan uang kertas  karena sejumlah dampak buruk yang ditimbulkannya. Meera mengetengahkan fakta-fakta betapa uang kertas adalah biang kerok berbagai malapetaka ekonomi di berbagai negara. Maka, selama negara-negara  di dunia masih menggunakan uang kertas maka sepanjang itu pula krisis akan terus membayangi kehidupan mereka. Krisis itu berupa inflasi, devaluasi,  hingga fluktuasi kurs. Yang terburuk adalah,  penggunaan uang kertas menciptakan ketidakadilan dalam perdagangan dunia. Negara yang memiliki mata uang kuat berpotensi merusak ekonomi negara-negara  yang nilai mata uangnya lebih lemah hingga pada puncaknya merampok kekayaan alam negara-negara tersebut. 

Melengkapi pembahasannya, Meera menunjukkan sosok kolonialisasi di era moderen. Bila dulu kolonialisasi berupa kekuatan militer, kini menjelma melalui tipu muslihat riba. Medan tempurnya adalah penggunaan mata uang kertas tanpa nilai dan jebakan utang berbunga. Uang kertas plus jebakan bunga itu berhasil mengalihkan kekayaan negara pengutang ke kelompok perbankan secara sistematis. Ini ironi sekaligus tragedi. Sebab, apa yang disebut utang plus bunga itu sesungguhnya cuma onggokan kertas cetakan atau sinyal elektrik di layar komputer semata.   Namun,  utang dan bunga itu harus dibayar dengan terkurasnya kekayaan alam negara pengutang. Dalam skema uang kertas, kedaulatan  sebuah negara yang terjebak dalam utang berbunga menjadi pertaruhan. 

Pada bagian kedua, Meera memaparkan jalan keluar dari sistem ekonomi berbasis riba itu. Meera menyerukan masyarakat di seluruh dunia  harus kembali menggunakan mata uang emas dan pada saat bersamaan meninggalkan  penggunaan mata uang kertas.  Mata uang emas yang dimaksud tentu saja dinar. Meera menjelaskan berbagai kelebihan dinar dibandingkan uang kertas.  Dinar, misalnya,  bebas inflasi dan nilainya stabil dari masa ke masa . Sementara uang kertas, rentan inflasi dan rawan gejolak.

Di bagian ini pula, penulis buku Islamic Gold Dinar (2002) itu menjawab keberatan sejumlah kalangan yang menolak sistem emas dijadikan mata uang. Dalih penolakan umumnya berkutat pada isu bahwa emas adalah mata uang masa silam,  tidak cocok untuk era moderen, hingga soal alasan emas tidak praktis/kaku  serta soal jumlah cadangan emas yang  dinilai tidak mencukupi bila digunakan sebagai mata uang dalam perdagangan internasional. Semua keberatan itu dijawab Meera dengan argumentasi dan data bahwa jumlah emas akan tetap mencukupi dan pemamfatan teknologi akan memudahkan pelbagai transaksi hingga berskala internasional.

Di tingkat praktis, implementasi dinar dalam kehidupan sehari-hari dilengkapi oleh Zaim Saidi, Direktur Wakala Induk Nusantara (WIN) yang menulis  kata pengantar pada buku ini. Di Indonesia, perbincangan tentang dinar dan dirham bukan hal baru. Di bawah komando WIN, ribuan keping koin dinar-dirham sudah beredar luas melalui jaringan 70-an wakala,  agen penukaran dinar dan dirham yang berdiri di berbagai daerah. Kedua koin itu digunakan sebagai alat tukar sukarela dalam perdagangan. Ratusan pedagang yang tergabung dalam Jaringan Wirausahawan Pengguna Dinar dan Dirham (Jawara) rutin menggelar pasar terbuka di Jakarta dan Depok. Di pasar itu, mereka menerima dinar dan dirham sebagai alat tukar.

Selain itu, dinar dan dirham juga sudah digunakan untuk membayar zakat, infak dan sedekah (ZIS). Awal tahun 2010, Zaim mencanangkan program Gerakan Nasional Infak dan Sedekah Sedirham untuk Ketahanan Bangsa (Garnissun Bangsa). Sejumlah lembaga ZIS telah menyalurkan dinar-dirham kepada para duafa yang membutuhkannya. Termasuk bagi rakyat di Palestina. Lainnya, dinar dan dirham digunakan sebagai  mas kawin dan tabungan. Musisi Ivan Slank mengaku menabung dalam dinar emas untuk ongkos naik  haji. 

Dukungan terhadap penerapan dinar dan dirham juga terus mengalir. Gubernur  Nangroe Aceh Darussalam Irwandi Yusuf menyatakan pihaknya berencana mencetak dinar dan dirham. Hal tersebut disampaikan Irwandi saat bertemu Prof Umar Ibrahim Vadillo, pendiri World Islamic Mint (WIM) dan delegasi Kerajaan Kesultanan Kelantan Malaysia di Banda Aceh, akhir Juli lalu.  Selain itu, disepakati pula, Aceh dan Kelantan siap  menjalin kerjasama penggunaan alat tukar berbasis  emas antar-kawasan. Koin dinar emas Aceh akan memiliki  nilai tukar 1 : 1 dengan koin dinar emas Kelantan yang sudah lebih dulu beredar di negeri jiran tersebut.

Sebelumnya, Silaknas Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) tahun 2003 dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menyerukan penggunaan bertahap dinar-dirham. Dukungan serupa juga disampaikan Ketua Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq dan Walikota Depok Nurmahmudi Ismail.

Bertolak dari semua realitas itu, harapan Meera yang menginginkan dinar emas dan dirham perak kembali dijadikan sebagai mata uang sudah menjadi kenyataan dan secara perlahan namun pasti akan terus berkembang.   Insya Allah. *** 

(Artikel ini telah dimuat di Harian Seputar Indonesia, Minggu, 29 Agustus 2010)

Minggu, 08 Mei 2011

Setelah Kematian Filsafat

Judul  : Heidegger for Muslim dan Sisi Gelap Renaisans
Pengarang : Abdalhaqq Bewley dan Umar Ibrahim Vadillo
Pengantar : Zaim Saidi
Penerjemah : Nurhasan
Penerbit : Pustaka Adina
Tebal  : 126 + xxv
Cetakan 1 : Juli 2006  

MARTIN Heidegger (1889-1976) tentu bukan sosok asing bagi pembaca filsafat. Filsuf asal Jerman itu dikenal sebagai deklarator yang punya tudingan menohok tentang filsafat. Filsafat telah mati, katanya. The End of Philosophy dan Being and Time (1927) dua karyanya yang terkenal (ia telah menulis lebih dari seratus buku dan ribuan esai) dianggap sebagai risalah yang mengakhiri perdebatan filsafat yang berlangsung selama 2500 tahun.

Lahir dan tumbuh di Eropa, Heidegger akrab dengan pikiran para filosof Barat. Jamak dipahami, akar filsafat Barat bertumpu pada pengakuan terhadap rasionalitas, pembebasan akal dari ikatan moral serta pengagungan kekuasaan individu dalam menentukan nasib sendiri (eksistensialis). Berlandaskan prinsip rasionalitas, manusia mengukur segala hal tentang dirinya dan dunia disekitarnya dengan satu ukuran yakni, kebenaran ilmiah.
Penampilan awal ide-ide ini bersamaan dengan terbitnya Renaisans (Era Kebangkitan) di Florentine, Eropa, abad ke-16. Ide-ide sepanjang Renaisans itu selanjutnya melahirkan dominasi sains, dan berkembang, tak hanya di daratan Eropa namun menggenangi sekujur bumi. Dominasi berpikir sains ini mencapai puncak pada abad ke-18, ditandai dengan revolusi ilmu pengetahuan di Eropa yang kemudian melahirkan kosakata berikutnya, modernisme.

Namun Heidegger tak silau dengan pesona sains yang dibawa filsafat Barat. Sebagai filosof generasi terakhir, mantan Rektor Universitas Marburg Jerman ini malah merayakan pesta perpisahan bagi filsafat. Selain berkata, “filsafat telah mati”, Heidegger juga menelanjangi cara berpikir (filsafat) Barat dengan berujar, “ada cacat mendasar dalam cara berpikir kita”.

Buku Heidegger for Muslim dan Sisi Gelap Renaisans ditulis oleh Abdalhaqq Bewley dan Umar Ibrahim Vadllo, merangkum pelbagai pandangan Heidegger tentang bangunan pikir filsafat Barat yang dianggap rapuh itu. Dasar-dasar filsafat dan ilmu pengetahuan Barat yang dianggap menggerakkan peradaban dunia lebih dari 400 tahun sejak masa Renaisans, sejatinya telah terbantahkan, bahkan runtuh, justru di tangan filosof dan saentis Barat sendiri. Melalui Heidegger, Bewley dan Vadillo sampai pada kesimpulan, filsafat Barat dengan segenap turunannya yang saat ini mendominasi bidang ekonomi, politik, sosial, perbankan, psikologi, teknologi, budaya, demokrasi, dan ranah lainnya, sesungguhnya tidak berdaya mengantar umat manusia (dan dunia) pada pencerahan kehidupan.

Buku ini merupakan dua risalah terpisah yang digunakan untuk dua kepentingan terpisah pula. Topik pertama, sisi gelap Renaisans, awal ditulis oleh Abdalhaqq Bewley sebagai bahan ceramahnya di sejumlah tempat di Inggris. Ahli fikih Islam ini mengajak kita melihat sejarah Renaisans serta dampak yang ditimbulkannya. Renaisans, menurut Bewley, awal penanda tersingkirnya Tuhan dalam kehidupan manusia di Barat (Eropa), sesuatu yang tidak terjadi sebelumnya. Dalam sejarah, Renaisans melahirkan pandangan humanisme-sekular yang mengikis peran religiusitas Yahudi-Kristen di Eropa. Filsafat Barat sebagai produk Renaisans, berpijak pada mitos kuno Prometheus, sosok yang terlepas dari tatanan teologis.

Bagian kedua, risalah yang ditulis oleh Professor Umar Ibrahim Vadillo yang membongkar pelbagai aspek filsafat Barat yang lahir dari rahim Renaisans itu melalui pendekatan Heidegger. Naskah Vadillo itu merupakan kompilasi bahan-bahan kuliah yang diberikannya di Dallas College, Cape Town, Afrika Selatan, tempatnya mengajar. Vadillo mencuplik banyak pendapat Heidegger yang menyerang pilar-pilar bangunan filsafat Barat itu.

Jadilah, membaca ini, kita dibawa pada pemahaman, betapa dunia saat ini telah didominasi oleh kekacauan berpikir. Menurut Heideger, filsafat Barat sama sekali tidak dapat memikirkan tentang kebenaran. Bahkan, sains yang diagungkan sebagai cara berpikir, sejatinya sama sekali tidak berpikir. Yang terjadi, menurut Heidegger, hanya seolah-oleh berpikir.

Lantas, bila filsafat telah mati dan dunia dijangkiti kekacauan berpikir, lalu apa yang bisa menggantikannya? Sayang, Heidegger tidak memberi jawaban atas pertanyaan ini. Sang filosof, justru meninggalkan masalah baru setelah menyatakan filsafat telah tamat riwayatnya. Namun ketiadaan jawaban itu justru sekaligus membuka jawaban baru. Setelah kematian filsafat, Bewley dan Vadillo memberi jawaban bahwa hanya Islam sebagai satu-satunya pilihan. “Berpikir bersama Heidegger adalah berpikir pada ujung pemikiran,” kata Vadillo. Ujung pemikiran Heidegger yang dimaksud Vadillo adalah Islam.

Di mata Vadillo, pandangan Heidegger penting dipahami umat Islam dewasa ini. Tak soal meski Heidegger sendiri bukan seorang muslim dan tentunya memang tidak mungkin mendapatkan jawaban tentang Islam dari Heidegger. Namun, bagi Vadillo, pandangan Heidegger, pada tingkatan tertentu, sedang berbicara tentang Islam, meski boleh jadi Heidegger sendiri tidak menyadari akan hal tersebut (hal. 41). Bukan sebuah kebetulan kalau buku ini menyebut Islam sebagai pilihan. Vadillo mengedepankan prinsip-prinsip spiritualitas Islam sebagai ukuran menemukan kebenaran universal. Dalam penjabaranya, Islam punya sistem dan syariah, sesuatu yang tidak dimiliki filsafat. Islam menjadi pilihan, sejatinya tidak hanya untuk umat Islam namun juga bagi peradaban Barat sendiri. “Setelah Heidegger menutup kedai filsafat, hanya Islam yang dapat mengambil alih. Satu-satunya takdir terakhir bagi pemikiran dunia Barat, bahkan dunia barat itu sendiri, adalah Islam.” (hal. 42).