Jumat, 13 Mei 2011

Dinar Selamatkan Bangsa

Oleh : Emil W. Aulia


KRISIS ekonomi yang melanda berbagai negara di dunia telah membuka mata sebagian intelektual muslim untuk mengkaji penerapan sistem keuangan Islam. Salah satu pemikiran yang mengemuka adalah penggunaan kembali koin dinar dan dirham. Keduanya dikenal sebagai mata uang yang dipakai umat Islam sejak masa Rasululah SAW hingga berakhirnya  Kekhalifahan Osmani di Turki (1924). Dinar adalah koin emas 22 karat seberat 4,25 gram sementara dirham, koin perak murni seberat 2,9 gram. Ide penggunaan dinar dan dirham itu tak hanya sebagai solusi keluar dari krisis namun sekaligus upaya menegakkan kembali sunnah yang runtuh.


 Buku  Perampok Bangsa-Bangsa, Kenapa Emas Harus Jadi Mata Uang Internasional  karya Ahamed Meedin Kameel Meera  ini mengurai implementasi penerapan dinar dan dirham dalam konteks kekinian. Sebelum diterbitkan Mizan untuk publik Indonesia, buku karya profesor di bidang keuangan Islam yang mengajar di Fakultas Ekonomi dan Manajemen International Islamic University Malaysia (IIUM) itu lebih dulu beredar di Malaysia dengan judul The Theft of Nations: Returning to Gold (2004).

Meera membagi bukunya dalam dua bagian. Bagian pertama berisi gambaran sistem keuangan moderen yang kini jamak diterapkan berbagai negara di dunia. Menurut Meera, bangunan sistem keuangan moderen itu berdiri di atas fondasi riba. Pilarnya ada tiga: penggunaan uang kertas (fiat money), pungutan bunga (interest)  dan kewajiban cadangan minimum bank sentral (fractional reserve requirement). Melalui tiga pilar ini, Meera mengurai berbagai potret kehancuran ekonomi yang terjadi di berbagai negara yang menerapkannya.

Meera mengecam penggunaan uang kertas  karena sejumlah dampak buruk yang ditimbulkannya. Meera mengetengahkan fakta-fakta betapa uang kertas adalah biang kerok berbagai malapetaka ekonomi di berbagai negara. Maka, selama negara-negara  di dunia masih menggunakan uang kertas maka sepanjang itu pula krisis akan terus membayangi kehidupan mereka. Krisis itu berupa inflasi, devaluasi,  hingga fluktuasi kurs. Yang terburuk adalah,  penggunaan uang kertas menciptakan ketidakadilan dalam perdagangan dunia. Negara yang memiliki mata uang kuat berpotensi merusak ekonomi negara-negara  yang nilai mata uangnya lebih lemah hingga pada puncaknya merampok kekayaan alam negara-negara tersebut. 

Melengkapi pembahasannya, Meera menunjukkan sosok kolonialisasi di era moderen. Bila dulu kolonialisasi berupa kekuatan militer, kini menjelma melalui tipu muslihat riba. Medan tempurnya adalah penggunaan mata uang kertas tanpa nilai dan jebakan utang berbunga. Uang kertas plus jebakan bunga itu berhasil mengalihkan kekayaan negara pengutang ke kelompok perbankan secara sistematis. Ini ironi sekaligus tragedi. Sebab, apa yang disebut utang plus bunga itu sesungguhnya cuma onggokan kertas cetakan atau sinyal elektrik di layar komputer semata.   Namun,  utang dan bunga itu harus dibayar dengan terkurasnya kekayaan alam negara pengutang. Dalam skema uang kertas, kedaulatan  sebuah negara yang terjebak dalam utang berbunga menjadi pertaruhan. 

Pada bagian kedua, Meera memaparkan jalan keluar dari sistem ekonomi berbasis riba itu. Meera menyerukan masyarakat di seluruh dunia  harus kembali menggunakan mata uang emas dan pada saat bersamaan meninggalkan  penggunaan mata uang kertas.  Mata uang emas yang dimaksud tentu saja dinar. Meera menjelaskan berbagai kelebihan dinar dibandingkan uang kertas.  Dinar, misalnya,  bebas inflasi dan nilainya stabil dari masa ke masa . Sementara uang kertas, rentan inflasi dan rawan gejolak.

Di bagian ini pula, penulis buku Islamic Gold Dinar (2002) itu menjawab keberatan sejumlah kalangan yang menolak sistem emas dijadikan mata uang. Dalih penolakan umumnya berkutat pada isu bahwa emas adalah mata uang masa silam,  tidak cocok untuk era moderen, hingga soal alasan emas tidak praktis/kaku  serta soal jumlah cadangan emas yang  dinilai tidak mencukupi bila digunakan sebagai mata uang dalam perdagangan internasional. Semua keberatan itu dijawab Meera dengan argumentasi dan data bahwa jumlah emas akan tetap mencukupi dan pemamfatan teknologi akan memudahkan pelbagai transaksi hingga berskala internasional.

Di tingkat praktis, implementasi dinar dalam kehidupan sehari-hari dilengkapi oleh Zaim Saidi, Direktur Wakala Induk Nusantara (WIN) yang menulis  kata pengantar pada buku ini. Di Indonesia, perbincangan tentang dinar dan dirham bukan hal baru. Di bawah komando WIN, ribuan keping koin dinar-dirham sudah beredar luas melalui jaringan 70-an wakala,  agen penukaran dinar dan dirham yang berdiri di berbagai daerah. Kedua koin itu digunakan sebagai alat tukar sukarela dalam perdagangan. Ratusan pedagang yang tergabung dalam Jaringan Wirausahawan Pengguna Dinar dan Dirham (Jawara) rutin menggelar pasar terbuka di Jakarta dan Depok. Di pasar itu, mereka menerima dinar dan dirham sebagai alat tukar.

Selain itu, dinar dan dirham juga sudah digunakan untuk membayar zakat, infak dan sedekah (ZIS). Awal tahun 2010, Zaim mencanangkan program Gerakan Nasional Infak dan Sedekah Sedirham untuk Ketahanan Bangsa (Garnissun Bangsa). Sejumlah lembaga ZIS telah menyalurkan dinar-dirham kepada para duafa yang membutuhkannya. Termasuk bagi rakyat di Palestina. Lainnya, dinar dan dirham digunakan sebagai  mas kawin dan tabungan. Musisi Ivan Slank mengaku menabung dalam dinar emas untuk ongkos naik  haji. 

Dukungan terhadap penerapan dinar dan dirham juga terus mengalir. Gubernur  Nangroe Aceh Darussalam Irwandi Yusuf menyatakan pihaknya berencana mencetak dinar dan dirham. Hal tersebut disampaikan Irwandi saat bertemu Prof Umar Ibrahim Vadillo, pendiri World Islamic Mint (WIM) dan delegasi Kerajaan Kesultanan Kelantan Malaysia di Banda Aceh, akhir Juli lalu.  Selain itu, disepakati pula, Aceh dan Kelantan siap  menjalin kerjasama penggunaan alat tukar berbasis  emas antar-kawasan. Koin dinar emas Aceh akan memiliki  nilai tukar 1 : 1 dengan koin dinar emas Kelantan yang sudah lebih dulu beredar di negeri jiran tersebut.

Sebelumnya, Silaknas Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) tahun 2003 dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menyerukan penggunaan bertahap dinar-dirham. Dukungan serupa juga disampaikan Ketua Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq dan Walikota Depok Nurmahmudi Ismail.

Bertolak dari semua realitas itu, harapan Meera yang menginginkan dinar emas dan dirham perak kembali dijadikan sebagai mata uang sudah menjadi kenyataan dan secara perlahan namun pasti akan terus berkembang.   Insya Allah. *** 

(Artikel ini telah dimuat di Harian Seputar Indonesia, Minggu, 29 Agustus 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar