Minggu, 08 Mei 2011

Setelah Kematian Filsafat

Judul  : Heidegger for Muslim dan Sisi Gelap Renaisans
Pengarang : Abdalhaqq Bewley dan Umar Ibrahim Vadillo
Pengantar : Zaim Saidi
Penerjemah : Nurhasan
Penerbit : Pustaka Adina
Tebal  : 126 + xxv
Cetakan 1 : Juli 2006  

MARTIN Heidegger (1889-1976) tentu bukan sosok asing bagi pembaca filsafat. Filsuf asal Jerman itu dikenal sebagai deklarator yang punya tudingan menohok tentang filsafat. Filsafat telah mati, katanya. The End of Philosophy dan Being and Time (1927) dua karyanya yang terkenal (ia telah menulis lebih dari seratus buku dan ribuan esai) dianggap sebagai risalah yang mengakhiri perdebatan filsafat yang berlangsung selama 2500 tahun.

Lahir dan tumbuh di Eropa, Heidegger akrab dengan pikiran para filosof Barat. Jamak dipahami, akar filsafat Barat bertumpu pada pengakuan terhadap rasionalitas, pembebasan akal dari ikatan moral serta pengagungan kekuasaan individu dalam menentukan nasib sendiri (eksistensialis). Berlandaskan prinsip rasionalitas, manusia mengukur segala hal tentang dirinya dan dunia disekitarnya dengan satu ukuran yakni, kebenaran ilmiah.
Penampilan awal ide-ide ini bersamaan dengan terbitnya Renaisans (Era Kebangkitan) di Florentine, Eropa, abad ke-16. Ide-ide sepanjang Renaisans itu selanjutnya melahirkan dominasi sains, dan berkembang, tak hanya di daratan Eropa namun menggenangi sekujur bumi. Dominasi berpikir sains ini mencapai puncak pada abad ke-18, ditandai dengan revolusi ilmu pengetahuan di Eropa yang kemudian melahirkan kosakata berikutnya, modernisme.

Namun Heidegger tak silau dengan pesona sains yang dibawa filsafat Barat. Sebagai filosof generasi terakhir, mantan Rektor Universitas Marburg Jerman ini malah merayakan pesta perpisahan bagi filsafat. Selain berkata, “filsafat telah mati”, Heidegger juga menelanjangi cara berpikir (filsafat) Barat dengan berujar, “ada cacat mendasar dalam cara berpikir kita”.

Buku Heidegger for Muslim dan Sisi Gelap Renaisans ditulis oleh Abdalhaqq Bewley dan Umar Ibrahim Vadllo, merangkum pelbagai pandangan Heidegger tentang bangunan pikir filsafat Barat yang dianggap rapuh itu. Dasar-dasar filsafat dan ilmu pengetahuan Barat yang dianggap menggerakkan peradaban dunia lebih dari 400 tahun sejak masa Renaisans, sejatinya telah terbantahkan, bahkan runtuh, justru di tangan filosof dan saentis Barat sendiri. Melalui Heidegger, Bewley dan Vadillo sampai pada kesimpulan, filsafat Barat dengan segenap turunannya yang saat ini mendominasi bidang ekonomi, politik, sosial, perbankan, psikologi, teknologi, budaya, demokrasi, dan ranah lainnya, sesungguhnya tidak berdaya mengantar umat manusia (dan dunia) pada pencerahan kehidupan.

Buku ini merupakan dua risalah terpisah yang digunakan untuk dua kepentingan terpisah pula. Topik pertama, sisi gelap Renaisans, awal ditulis oleh Abdalhaqq Bewley sebagai bahan ceramahnya di sejumlah tempat di Inggris. Ahli fikih Islam ini mengajak kita melihat sejarah Renaisans serta dampak yang ditimbulkannya. Renaisans, menurut Bewley, awal penanda tersingkirnya Tuhan dalam kehidupan manusia di Barat (Eropa), sesuatu yang tidak terjadi sebelumnya. Dalam sejarah, Renaisans melahirkan pandangan humanisme-sekular yang mengikis peran religiusitas Yahudi-Kristen di Eropa. Filsafat Barat sebagai produk Renaisans, berpijak pada mitos kuno Prometheus, sosok yang terlepas dari tatanan teologis.

Bagian kedua, risalah yang ditulis oleh Professor Umar Ibrahim Vadillo yang membongkar pelbagai aspek filsafat Barat yang lahir dari rahim Renaisans itu melalui pendekatan Heidegger. Naskah Vadillo itu merupakan kompilasi bahan-bahan kuliah yang diberikannya di Dallas College, Cape Town, Afrika Selatan, tempatnya mengajar. Vadillo mencuplik banyak pendapat Heidegger yang menyerang pilar-pilar bangunan filsafat Barat itu.

Jadilah, membaca ini, kita dibawa pada pemahaman, betapa dunia saat ini telah didominasi oleh kekacauan berpikir. Menurut Heideger, filsafat Barat sama sekali tidak dapat memikirkan tentang kebenaran. Bahkan, sains yang diagungkan sebagai cara berpikir, sejatinya sama sekali tidak berpikir. Yang terjadi, menurut Heidegger, hanya seolah-oleh berpikir.

Lantas, bila filsafat telah mati dan dunia dijangkiti kekacauan berpikir, lalu apa yang bisa menggantikannya? Sayang, Heidegger tidak memberi jawaban atas pertanyaan ini. Sang filosof, justru meninggalkan masalah baru setelah menyatakan filsafat telah tamat riwayatnya. Namun ketiadaan jawaban itu justru sekaligus membuka jawaban baru. Setelah kematian filsafat, Bewley dan Vadillo memberi jawaban bahwa hanya Islam sebagai satu-satunya pilihan. “Berpikir bersama Heidegger adalah berpikir pada ujung pemikiran,” kata Vadillo. Ujung pemikiran Heidegger yang dimaksud Vadillo adalah Islam.

Di mata Vadillo, pandangan Heidegger penting dipahami umat Islam dewasa ini. Tak soal meski Heidegger sendiri bukan seorang muslim dan tentunya memang tidak mungkin mendapatkan jawaban tentang Islam dari Heidegger. Namun, bagi Vadillo, pandangan Heidegger, pada tingkatan tertentu, sedang berbicara tentang Islam, meski boleh jadi Heidegger sendiri tidak menyadari akan hal tersebut (hal. 41). Bukan sebuah kebetulan kalau buku ini menyebut Islam sebagai pilihan. Vadillo mengedepankan prinsip-prinsip spiritualitas Islam sebagai ukuran menemukan kebenaran universal. Dalam penjabaranya, Islam punya sistem dan syariah, sesuatu yang tidak dimiliki filsafat. Islam menjadi pilihan, sejatinya tidak hanya untuk umat Islam namun juga bagi peradaban Barat sendiri. “Setelah Heidegger menutup kedai filsafat, hanya Islam yang dapat mengambil alih. Satu-satunya takdir terakhir bagi pemikiran dunia Barat, bahkan dunia barat itu sendiri, adalah Islam.” (hal. 42).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar